Sentani, Melukis diatas lembaran kulit kayu, merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat yang tinggal di sebuah pulau di tengah Danau Sentani, Papua.
Di pulau kecil yang bernama Asei ini, sedikitnya 70 kepala keluarga
menetap sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.
Traveling ke Danau Sentani belum lengkap kalau membawa buah tangan atau
cenderamata khas pulau besar Asei yaitu Lukisan lembaran Kulit Kayu.
Selain bentuknya unik juga mengandung makna filosofi yang mendalam.
Bagi masyarakat Sentani, Papua, seni lukis tidak sekadar sarana
mengekspresikan nilai estetika. Lebih dari itu, seni lukis dengan
lembaran kulit kayu sebagai media sarat simbol budaya setempat.
Puyakha puyakhapu adalah sebutan Danau Sentani.
Puyakha berarti ciri nyata dan
puyakhapu bermakna kawasan air. Itu sebabnya Danau Sentani dikenal sebagai Negeri Puyaka atau Negeri Nyata.
jernih berkedalaman 50 hingga 70 meter itu hanya berjarak 36
kilometer dari ibu kota Jayapura. Ada sekitar 21 pulau yang menjulang di
sekitar kawasan terbesar di Bumi Cenderawasih ini. Daerah seluas seluas
9.630 hektare ini memiliki beragam suku dan adat isitiadat. Variasi itu
membuat Sentani memiliki kultur gotong royong yang sangat kuat. Sesama
warga saling menghormati keberadaan makhluk ciptaan Tuhan.
Tradisi Negeri
Puyakha menjadi identitas masyarakat di sana.
Suatu kehidupan yang lekat dengan keagungan alam semesta. Para penduduk
percaya akan keberadaan para leluhur. Mereka meyakini kekuasaan sang
pencipta. Tanda-tanda itu mengental dalam kehidupan masyarakat Sentani.
Semuanya tercermin dalam simbol-simbol etnik yang ada.
Dari lambang tersebut, penduduk setempaat bisa mengetahui latar
belakang kedudukan seseorang dalam masyarakat. Tapi, tak seoarng pun
yang bisa menjelaskan proses pencuatan kreasi tadi. Bentuk yang ada
tertuang begitu saja. Diberikan kepada si pewaris secara turun-temurun
dari para leluhur.
Makna karya seni itu bermakna besar ketika simbol digoreskan seorang
Ondofolo, pemegang posisi kunci dalam sebuah kampung.
Ondofolo
juga seseorang yang disegani dan ditaati masyarakat setempat. Motif
yang ada bermacam juga menandakan kekuasaan kepemimpinan adat dalam
suatu keluarga atau suku. Biasanya, motif tersebut juga digunakan khusus
oleh putri sulung, moyang dari suku Pepuho. Tanda tersebut untuk
mencirikan pelimpahan tahta dan warisan yang jatuh padanya kelak.
Lain lagi dengan motif
Hakhalu yang menggambarkan keberadaan
Tuhan, Sang Pencipta langit dan bumi yang memberikan garis keturunan
atas seluruh makhluk ciptaan-Nya. Simbol ini dikenakan oleh anak kedua
atau bungsu dari moyang suku
Pepuho. Kedua lambang tersebut
diyakini masyarakat setempat sebagai cikal bakal pengembangan motif seni
ukir dan lukis, seperti lukisan kulit kayu.
Ada juga motif bergambar binatang dan tumbuhan yang berada di kawasan
Danau Sentani seperti daun sagu, burung cenderawasih, ikan, kura-kura,
cicak, tokek, buaya. motif daun sagu, siku burung, kura-kura yang
semuanya bermakna atau lambang kemakmuran.
Warisan Budaya Dunia
Keunikan dan kandungan makna yang mendalam di lukisan kuliat kayu
berpotensi dapat menjadi warisan budaya dunia, sepeti halnya Noken yang
telah diakui UNESCO. Unik, karena proses pembuatan dan bahan bakunya
hanya ada di Danau Sentani. Kulit kayu yang dipakai sebagai media
(kanvas) lukisan berasal dari kulit pohon kombow yang hanya terdapat di
Sentani.
Dahulu, kulit kayu yang berasal dari kulit inti pohon kombow digunakan sebagai bahan pakaian
(daka homo) dan celana untuk kaum pria (
cidako)
oleh penduduk Asei Besar, Sentani. Namun, kini, peninggalan budaya itu
diwariskan sebagai lembaran kulit kayu, media kanvas seni lukis. Mutu
lukisan tergantung pada penanganan bahan kulit kayu. Keterlibatan emosi
seniman juga berperan dalam hasil akhir kreasi tersebut.
Tak semua jenis pohon ini, dapat diambil kulit kayunya. Selain yang
telah cukup umur, dipilih yang memiliki sedikit dahan. Batang pohon ini
kemudian ditandai bagian-bagiannya yang akan dipotong. Lembaran-lembaran
kulit kayu ini tak bisa langsung digunakan begitu saja.
Bahan dasar untuk melukis ini, lapisan luarnya yang kasar dibuang. Lalu
ditumbuk dengan menggunakan plat besi untuk mendapatkan lembaran kulit
kayu yang lembut dan lebar. Lebarnya bervariasi, tergantung besar
kecilnya diameter batang kayu. Proses menumbuk ini memakan waktu cukup
lama dan menguras tenaga. Lembaran-lembaran ini nantinya dicuci, dibuang
ampasnya, selanjutnya dijemur hingga kering.
Lembaran-lembar yang telah kering inilah, dijadikan sebagai media untuk
mengeskpresikan jiwa seni mereka. Layaknya kehidupan tradisional, seni
kerap dimunculkan dengan memanfaatkan alam sebagai unsur yang
terpenting. Dalam melukis masyarakat Sentani hanya menggunakan tiga
jenis warna. Warna utama adalah hitam yang, dibuat dari jelaga yang
dicampur dengan minyak kelapa. Warna lain adalah putih, dari bahan sagu
atau kerang. serta warna merah, terbuat dari tanah liat.
Warna dasar tersebut juga memiliki makna filosofis yang mendalam bagi
masyarakat suku Asei. Warna putih menggambarkan kebesaran suku. Nuansa
merah melambangkan keperkasaan suku. Goresan hitam mencerminkan
kehidupan di bumi tidak kekal. Begitulah, seniman Negeri
Puyakha, menyembunyikan makna kehidupan yang terkandung di dalam karya seninya. (DAM)